Judi online menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Bagaimana tidak, judi online rupanya telah berkembang sangat pesat hingga memakan banyak korban. Transaksi judi online terus meningkat dalam 5 tahun terakhir. Menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), selama periode 2017-2022, nilai perputaran uang dari judi online mencapai Rp190 triliun.
Dampak buruk judi online begitu nyata. Dalam skala negara, uang hasil judi online lebih banyak mengalir ke luar negeri. Hal ini tentu saja merugikan secara ekonomi. Adapun dalam tataran individu, banyak orang yang akhirnya bangkrut hingga melakukan tindak kriminal karena ingin mendapatkan uang akibat kecanduan bermain judi online.
Berkembangnya judi online merupakan ironi di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Sebab dalam Islam, judi adalah perbuatan yang dilarang. Bahkan keharaman judi seharusnya sudah menjadi pengetahuan umum bahkan oleh orang awam sekalipun.
Yang lebih memprihatinkan, PPATK menyebut bahwa pelaku judi online kebanyakan adalah orang-orang berpenghasilan rendah termasuk juga pelajar dan mahasiswa.
Dikutip dari media republika.co.id, Ketua DPD Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Kabupaten Demak Ng. Noor Salim menyebutkan bahwa berdasarkan temua PGSI, dari 40.000-an siswa di sana, ada 30% siswa yang bermain game online yang berafiliasi dengan judi online. Sementara itu ada 5% siswa yang mengakses langsung situs judi online. Para siswa ini terdiri dari kalangan SD, SLTP, dan SLTA.
Inilah yang harus kita waspadai bersama. Generasi muda yang kita harapkan menjadi penerus bangsa justru mulai terkontaminasi judi online sejak dini. Bagi kalangan pelajar, judi online dapat mengganggu konsentrasi belajar, menurunkan prestasi, hingga putus sekolah. Selain itu bukan tidak mungkin mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Jika terus dibiarkan maka akan menjadi petaka besar bagi negara.
Upaya pemerintah mengatasi judi online terus dilakukan. Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir hampir 500.000 konten perjudian di berbagai platform digital. Pihak kepolisian juga tengah gencar menangkap bandar maupun perusahaan penyedia judi online.
Meski demikian, nyatanya judi online masih tumbuh subur di masyarakat. Hal ini karena pemberantasan judi online sangatlah sulit. Salah satunya karena operator judi online menggunakan teknologi dan perangkat lunak yang canggih untuk menghilangkan jejak.
Oleh karena itu upaya pemberantasan judi online harus dibarengi dengan penyadaran kepada masyarakat. Sebab masyarakat sendirilah yang merelakan dirinya untuk terlibat judi online.
Sekolah memiliki peran penting untuk menghentikan fenomena ini. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah diharapkan mampu membangun kesadaran para siswa agar tidak terjerumus pada judi online, baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang.
Misalnya melalui pembekalan ilmu agama yang baik sehingga siswa dapat mengetahui mana perbuatan yang halal dan haram dalam Islam serta konsekuensi yang diterima jika melakukannya. Pembekalan ilmu agama tentu harus dibarengi dengan upaya menanamkan dan memperkuat keimanan para peserta didik. Karena itulah kurikulum pendidikan harus dirancang dengan tujuan tersebut.
Selain pembekalan agama, literasi keuangan juga harus diajarkan pada siswa di sekolah. Sebab dengan kecanggihan teknologi, judi online dapat “menyamarkan diri”. Misalnya melalui aplikasi game online. Hal ini dapat membuat seseorang tidak sadar jika ia sedang bermain judi online. Karena itu diperlukan kecakapan literasi keuangan yang baik.
Upaya semacam ini harus terus dilakukan sebagai bagian dari kerja bersama memberantas judi online di Indonesia. Terutama karena judi online telah mengancam generasi penerus bangsa. Kita tentu tidak ingin jika generasi muda menjadi rusak akibat perbuatan yang berdosa dalam pandangan agama dan lebih banyak merugikan dalam pandangan ekonomi.
Dibaca 20x