Senin, 10-02-2025
Sekolah Berbasis Qur'an, Adab dan Bahasa Arab # Diumumkan Bahwa Kuota Penerimaan Santri Baru untuk Kelas Baru/Extend Masih Tersedia # تعلن المدرسة الممتاز عن ختامي باب القبول الطلاب # Wujudkan Generasi MumtazSekolah Berbasis Qur'an, Adab dan Bahasa Arab # Diumumkan Bahwa Kuota Penerimaan Santri Baru untuk Kelas Baru/Extend Masih Tersedia # تعلن المدرسة الممتاز عن ختامي باب القبول الطلاب # Wujudkan Generasi MumtazSekolah Berbasis Qur'an, Adab dan Bahasa Arab # Diumumkan Bahwa Kuota Penerimaan Santri Baru untuk Kelas Baru/Extend Masih Tersedia # تعلن المدرسة الممتاز عن ختامي باب القبول الطلاب # Wujudkan Generasi MumtazSekolah Berbasis Qur'an, Adab dan Bahasa Arab # Diumumkan Bahwa Kuota Penerimaan Santri Baru untuk Kelas Baru/Extend Masih Tersedia # تعلن المدرسة الممتاز عن ختامي باب القبول الطلاب # Wujudkan Generasi Mumtaz
Sekolah Berbasis Qur'an, Adab dan Bahasa Arab # Diumumkan Bahwa Kuota Penerimaan Santri Baru untuk Kelas Baru/Extend Masih Tersedia # تعلن المدرسة الممتاز عن ختامي باب القبول الطلاب # Wujudkan Generasi MumtazSekolah Berbasis Qur'an, Adab dan Bahasa Arab # Diumumkan Bahwa Kuota Penerimaan Santri Baru untuk Kelas Baru/Extend Masih Tersedia # تعلن المدرسة الممتاز عن ختامي باب القبول الطلاب # Wujudkan Generasi MumtazSekolah Berbasis Qur'an, Adab dan Bahasa Arab # Diumumkan Bahwa Kuota Penerimaan Santri Baru untuk Kelas Baru/Extend Masih Tersedia # تعلن المدرسة الممتاز عن ختامي باب القبول الطلاب # Wujudkan Generasi MumtazSekolah Berbasis Qur'an, Adab dan Bahasa Arab # Diumumkan Bahwa Kuota Penerimaan Santri Baru untuk Kelas Baru/Extend Masih Tersedia # تعلن المدرسة الممتاز عن ختامي باب القبول الطلاب # Wujudkan Generasi Mumtaz
04Des2023

Tujuan Pendidikan Untuk Apa?

Pendahuluan

Hakikat dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan, yang telah menarik perhatian ahli filsafat dan pendidik sejak dahulu. Adanya perbedaan konseptualisasi dan penjelasan kedua unsur ini disebabkan oleh perbedaan dalam memahami hakikat, peranan, dan tujuan hidup manusia di dunia, yang ternyata sangat berkaitan dengan serentetan pertanyaan tentang hakikat ilmu pengetahuan dan realitas semesta. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika ditemukan perbedaan pendapat dikalangan ahli filsafat dan pendidik, terutama di Barat, tentang tujuan dan kurikulum pendidikan.

Pendidikan Islam atau pendidikan yang ada dan berkembang di negara-negara Muslim pada abad XXI, meskipun terdapat beberapa kasus perkecualian, pun juga akan dijumpai polarisasi baik dari aspek epistimologis, ontologis maupun aksiologisnya. Baik sistem, tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih menjadi bahan kajian yang debatable di kalangan para ahli pendidikan Islam. Menurut Abdul Wahid1, problem- problem utama yang dihadapi Pendidikan Islam kontemporer diantaranya Dikhotomi, masih bersifat terlalu general dan belum adanya “problem-solving” dari ilmu yang menjadi bahan kajian (Too general knowledge – No problem solving), rendahnya semangat penelitian (Lack of spirit of inquiry), Memorisasi, dan Orientasi pada ijazah/sertifikat (Certificate oriented).

1Abdul Wahid, Isu-Isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Walisongo Press, 2011), 7

 

Munculnya persoalan dan permasalahan dalam Pendidikan Islam, terutama pada aspek epistemologis dan aksiologis, tidak lepas dari ketidaktepatan dalam memahami makna dan tujuan pendidikan itu sendiri. Lebih daripada itu menurut Wan Mohd Nor Wan Daud2, tidak ditemukan tulisan pemikir muslim, yang pernah dibuat setelah diterbitkannya buku Professor K.G. Saiyidain yang berjudul Iqbal’s Educational Philosophy pada 1983 yang membahas tentang pemikiran filsafat pendidikan Islam secara mendalam. Munculnya persolaan Certificate oriented seperti yang ditulis oleh Wahidi, dan maraknya penyakit yang disebut oleh Adian Husaini sebagai “sekolahisme” dan “linearisme”, turut mewarnai persoalan dan permasalah dunia pendidian Islam dikarenakan kesalahan dalam memahami hakikat dan tujuan pendidikan itu sendiri.

Tulisan ini ingin mencoba merangkai pandangan-pandangan pemikir Muslim terkait makna dan tujuan Pendidikan sehingga diharapkan memberikan gambaran sekaligus menjawab sedikit persoalan mendasar dalam aspek epistimologis dan pemecahan masalah secara aksiologis di dalam pendidikan Islam.

Pembahasan

Menurut Syed Naquib al-Attas3, pemikir muslim kontemporer dari Melayu, bahwa salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh Ummat Islam adalah serbuan pemikiran-pemikiran asing yang merusak. “It is true that the Muslim mind is now undergoing profound infiltration of cultural and intellectual elements alien to Islam”. Namun, ada masalah internal yang lebih mendasar, yang harus dipahami, disadari dan diakui oleh ummat Islam, agar dapat memberikan solusi bagi problematika eksternal tersebut. Masalah tersebut adalah “loss of adab”, yang dijelaskan maknanya sebagai “hilang disiplin”, yakni hilang disiplin badan, pemikiran dan jiwa. Seorang beradab, menurutunya, adalah orang yang memahami dan mengakui posisinya yang tepat dengan dirinya sendiri, dengan masyarakatnya, dan dengan komunitasnya. Ia memahami dan menyikapi dengan betul potensi-potensi fisik, intelektual, dan spritualnya, Juga memiliki sikap yang betul terhadap kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan wujud diatur secara hirarkis.

Ketika manusia tidak paham atau tidak memiliki sikap dan tindakan yang betul terhadap diri dan lingkungannya serta terhadap ilmu pengetahuan dan tatanan wujud, maka manusia telah hilang adabnya. Krisis ini lah yang dimaksud al-Attas yang harus diselesaikan. Maka proses penanaman adab dalam diri seorang itulah yang disebut dengan ‘tadib (Pendidikan).

2Wan Mohd Wan Daud, Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi (Kuala Lumpur, Penerbit Universiti Malaysia, 2020), 16

3Syed Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jedah King Abdul Aziz University, 1979), 1.

 

Hakikat dan Tujuan Pendidikan

Secara umum, ada dua pandangan teoritis tentang tujuan pendidikan, Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, ialah pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam melahirkan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pandangan toeritis yang kedua lebih berorientasi pada individu, yang lebih memperhatikan pada keperluan, daya tampung, dan minat pelajar.

Sebagian besar, sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara yang ada di dunia ini berorientasikan kemasyarakatan dan kenegaraan. Pandangan ini juga dianut oleh aliran Parenial atau Aliran Trasmisi Budaya yang sering dihubungkan dengan Plato, sarjana Barat Abad Pertengahan, dan beberapa sarjana modern, seperti William Harris, Robert Hutchins, dan Adler di Amerika Serikat, serta oleh aliran Rekonstruksi Sosial Modern- yang biasanya dikaitkan dengan George S. Count di Amerika, Paulo Freire di Brazil, dan Jurgen Habermas di Jerman- dan para feminis yang giat meneriakkan prinsip-proinsip kebebasan4.

Sebaliknya, hampir semua agama besar di dunia ini menganut pandangan pendidikan yang berorientasi pada individu. Beberapa sistem moral zaman dulu yang masih berpengaruh hingga saat ini, seperti ajaran Kung Fu Tse, juga sangat menekankan pengembangan individu, walaupun individu tersebut dilihat dalam kapasitasnya sebagai asas pengembangan masyarakat dan negara5.

Bertolak dari anggapan bahwa manusia adalah hewan yang bermasyarakat (social animal) dan ilmu pengetahuan pada dasarnya dibina di atas dasar kehidupan bermasyarakat, mereka yang berpandangan kemasyarakatan berpendapat bahwa pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang dapat berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakat masing-masing. Berdasarakan hal ini, tujuan pendidikan dengan sendirinya diambil dan diusahakan untuk memperkuat kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima dan sangat berguna bagi masyarakat. Konsekuensinya, karena hal itu semua sifatnya senantiasa berubah, mereka berpendapat bahwa pendidikan dalam masyarakat tersebut harus dapat mempersiapkan pelajarnya untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang ada.

Mereka yang berpandangan ini meyakini bahwa masyarakat jauh lebih penting daripada individu. Meskipun tidak sepenuhnya diabaikan dalam praktiknya, namun mereka yang berorientasikan kemasyarakatan dalam pendidikan, menempatkan keperluan dan minat para pelajar di urutan kedua setelah keperluan dan minat masyarakat, atau, sebagaimana yang yang dikatakan para rekonstruksionis masyarakat, sejauh keperluan dan minat pelajar memiliki kaitan dengan keperluan dan minat masyarakat. Sementara itu, pandangan teoritis pendidikan yang berorientasikan individu terbagi pada dua aliran. Aliran pertama, berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan pelajar agar dapat mencapai kebahagiaan optimal melalui kesuksesan hidup bermasyarakat dan ekonomi yang jauh lebih baik daripada orangtua mereka.

 

4David Pratt, Curriculum Planning: A Handbook for Professionals (Fort Wort); (Harcourt Brace Collage, 1994), 8-13; 17-21

5The Chinese Classics. Dilengkapi terjemahan, catatan, pendahuluan, dan indeks oleh James Legge. Edisi pertama 1893. Edisi ketiga (Taipei: SMC Publishing, Inc., 1991)1: 357-359

 

Dengan kata lain, pendidikan adalah kaidah mobilisasi sosioekonomi suatu masyarakat. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa pelajar. Menurut mereka, meskipun memiliki banyak persamaan dengan pelajar lain, seorang pelajar masih tetap memiliki keunikan dalam berbagai segi.

Pandangan pendidikan Islam sendiri di masa lalu (tradisional) selalu menjadikan kesuksesan individu dan kebahagian hidup di dunia dan di akhirat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan yang terpenting. Namun, falsafah pendidikan Islam yang terkategori berorientasikan pada pada pengembangan individu ini secara perlahan-lahan berubah kepada bentuk yang lebih mementingkan pemenuhan keperluan dan minat masyarakat terutama sejak Islam berada di bawah pengaruh pemikiran dan institusi Barat. Bahkan, mereka yang melihat pendidikan sebagai sesuatu yang berorientasikan individu lebih cenderung memilih aliran yang pertama yakni berusaha mencapai kesuksesan sosioekonomi bagi setiap pelajar dengan harapan agar dapat memperkuat status sosioekonomi negara.

Pergesaran orientasi akan tujuan pendidikan ini menimbulan dampak serius dalam dunia pendidikan yang melahirkan penyakit psiko-sosial, terutama dikalangan pelajar dan orangtua, yang terkenal dengan sebutan “penyakit diploma” (diploma disease), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai ekonomi dan sosial. Dalam masyarakat yang miskin sumber daya alam dan tidak dilengkapi dengan sistem manajemen ekonomi yang baik, sikap pendidikan semacam ini turut andil dalam terciptanya sosiopolitik yang kacau. Keadaan seperti ini sebenarnya bersumber dari kekeliruan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan yang disebabkan pengaruh program sekularisasi pemikiran yang terus terjadi dan konsep negara ala Barat6

Fenomena sedahsyat ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari keridhaan Allah.7 Adian Husaini, menyebutkan bahwa dalam Islam nilai suatu amal itu tergantung niatnya. Jika tanpa niat yang benar, maka mencari ilmu itu tidak akan bernilai dan bahkan bisa menjadi bencana yang merusak. Maka diantara adab mencari lmu yang benar adalah lurus niatnya. Al-Attas, ketika membicarakan perihal tujuan menuntut ilmu, menekankan pentingnya memahami tujuan mencari ilmu yang benar, bahwa tujuan utamanya adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan atau nilai-nilai keadilan8. Ia lebih menekankan pendidikan sebagai proses pembentukan sikap dan perilaku yang betul (beradab) untuk mewujudkan tegaknya keadilan. Pendidikan bukan sekedar pengajaran atau sekedar penambahan wawasan tetapi, lebih penting lagi, Pendidikan harus berdampak kepada perubahan sikap dan perilaku, dan perilaku yang betul pun harus bersumber dari ilmu yang benar.

Beberapa ilmuwan muslim, seperti Syed Naquib al-Attas dari Melayu, Sayed Hosen Nashr dari Iran, Muhammad ‘Abduh (teolog) di Mesir dan Hali (penyair), murid Sayyid Ahmad Khan di India, telah memperhatikan dan mengkritik, hasil-hasil negatif dari tujuan pendidikan yang pragmatis itu. Abduh, misalnya, menyadari bahwa tujuan pendidikan bukanlah untuk mobilisasi sosioekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian pelajar9. Beliau mengkritik habis-habisan aspek pragmatis dari sistem pendidikan Mesir, dan menambahkan :

Pendidikan ini disampaikan sehingga murid dapat memperoleh ijazah yang memungkinkannya memperoleh pekerjaan sebagai pegawai dalam sebuah instansi. Namun, hakikat bahwa jiwanya harus dibentuk dengan pendidikan (ta’lim wa al-tarbiyah) dan dengan menanamkan nilai-nilai yang luhur sehingga ia menjadi manusia yang saleh (rijalun shalihan fi nafsihi), yang dengannya ia dapat mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya dalam instansi pemerinatahan atau lainnya; hakikat ini tidak masuk dalam pikiran guru besar dan orang yang melantik guru-guru tersebut.

6Wan Mohd Wan Daud, op. cit., hal 111

7Loc. Cit

8Adian Husaini, Pendidikan Islam, Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045, Kompilasi Pemikiran Pendidikan (Yayasan Pendidiikan At-Taqwa, 2018), 10

 

S.H. Nasr juga menyebutkan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya untuk melatih fikiran, melainkan juga untuk melatih keseluruhan potensi sebagai manusia.10 Hal senada juga disampaikan Al- Attas, bahwa dalam Islam, pendidikan (ta’dib)11 memiliki tujuan untuk membentuk manusia yang baik (good man) atau (insan adabi), bukan diprioritaskan untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen). Sebab, diri manusia bersifat universal. Sedangkan negara bisa berbeda-beda kondisinya, tergantung penguasanya. Jadi, internalisasi adab dalam diri seseorang, menjadikan dirinya dalam keadaan “adil terhadap diri sendiri” atau “tidak zalim terhadap diri sendiri”. Dalam kaitan dengan negara, Al at-Attas menekankan, bahwa seorang muslim akan menjadikan loyalitas tertingginya kepada Tuhan, bukan terhadap negara, “He will no longer consider the ultimate source of his loyality to be the state”

Lebih jauh dijelaskan perbedaan mendasar antara “to be a good man” dan “to be a good citizen” bahwa tujuan pendidikan untuk melahirkan manusia yang baik adalah lebih fundamental, sebab manusia yang baik akan menjadi warga negara yang baik pula. Rumusan itu tidak berlaku sebaliknya. Sebab warga negara yang baik, mungkin seorang tiran yang kejam. Jadi “producing a good man” melalui proses penanaman adab (ta’dib) dalam diri seorang, sehingga terbentuklah manusia beradab (insan adabi) itulah hakikat dari Pendidikan, dan itulah yang seharusnya menjadi fokus utama dalam Pendidikan.

Hampir di seluruh dunia Islam, biasanya dasar dan tujuan pendidikan adalah meningkatkan dan mengembangkan negara mereka yang baru membangun. Meskipun dapat dipahami, kepentingan dan penekanan terhadap individu – baik murid maupun guru – dalam proses pendidikan dan pembangunan negara tidak dapat dibiarkan begitu saja. Sikap meletakkan individu pada tempat kedua setelah keperluan sosiopolitik masyarakat ternyata menimbulan krisis yang sangat menyedihkan dalam masyarakat Islam di seluruh dunia. Sikap meremehkan tujuan pendidikan yang berusaha membina dan mengembangkan manusia secara fundamental dan komprahensif sehingga menimbulkan permasalahan kerohanian, kejiwaan, dan kesehatan, pada akhirnya justru menjadi sebab lemahnya negara dan masyarakat secara keseluruhan.12

9Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah, ed. Muhammad “Amish, 6 jil. (Beirut, Al Mu’assasah Al- Arabiyah li Al Dirasat wa An-Nashr), 3:111 dikutip dari Rahman, Islam and Modernity, hal 60.

10S,H. Nasr, Traditional Islam in the Modern World, (Colombia University Press, 1987), 143

11penjelasan tentang ta’dib di bagian akhir catatan kaki

12Wan Mohd Wan Daud, op. cit., hal 115

 

Kurikulum Pendidikan

Kurikulum secara harfiah adalah lintasan; berasal dari bahasa Latin curriculum, yang maknanya adalah jalan atau lintasan (jamak:curricula). Dalam pengertian umum, kurikulum Pendidikan bisa dimaknai sebagai seluruh aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan Pendidikan itu sendiri. Dalam pendidikan, tujuan pendidikan perlu diturunkan menjadi target pencapaian yang sudah memperhitungkan aspek-aspek kondisi murid, guru, dan proses pendidikan yang memungkinkan.

Dalam masalah tujuan dan kurikulum Pendidikan ini, perlu dicermati gejala yang disebut sebagai “sekolahisme” dan “linearisme”. Di kalangan umat Islam khususnya kalangan terpelajar biasanya sudah sangat mengenal dan hafal hadits Nabi saw. Tahalabul ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin”. Maknanya mencari lmu itu wajib bagi setiap muslim. Beranjak dari teks ini, munculah beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh umat Islam itu sendiri, perihal ilmu apa yang wajib dicari, apakah semua ilmu harus dipelajari, sampai dimana batas suatu ilmu wajib dicari, apakah seorang bersekolah, lalu kuliah, sudah memenuhi kewajiban mencari ilmu, dan juga, yang tidak mudah dijawab “apa yang disebut sebagai ilmu ? dan “apakah kriterianya sehingga seseorang layak dikatakan sudah menjalankan perintah Nabi untik mencari ilmu itu?”

Imam Syafi’I (Teolog Islam klasik), dalam salah satu syairnya mengatakan “wa man lam yadzuq murrat ta-ta’llumi saa’atan, tajarra’a dzullal jahli thuula hayatihi” (barang siapa yang tidak merasakan pahitnya mencari ilmu, walau sesaat, maka ia akan terjerumus dalam kebodohan yang hina sepanjang hayat.). Adian Husaini dalam bukunya12, menyampaikan kritik terkait ketidaktepatan dalam memahami kewajiban mencari ilmu sepanjang hayat, ia mencermati beredarnya penyakit kronis bernama “sekolahisme” dan “linearisme”. Menurutnya, ‘Sekolahisme” adalah cara pandang masyarakat yang menganggap bersekolah adalah sama dengan mencari ilmu, sebaliknya tidak bersekolah berarti dianggap tidak mencari ilmu, selesai sekolah atau kuliah, dianggap selesai pula upaya mencari ilmu. Bahkan tidak sedikit yang berpikir, setelah menjadi sarjana dan bekerja, maka selesailah pula kewajiban mencari ilmu, yang wajib adalah mencari uang. Pandangan seperti ini berdampak pada minimnya upaya untuk belajar lebih dalam (ta’lim) tentang hal-hal pokok menyangkut kehidupan secara lebih substantif. Misalnya, mempelajari ilmu aqidah yang lebih mendalam, memahami tafsir al-Qur’an, mencari ilmu-ilmu yang diperlukan untuk bisa menegenal Tuhannya, memahami aturan-aturan- Nya, dan atau memiliki ilmu untuk meraih hidup bahagia dengan cara mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs)

Dalam konteks ilmu pensucian jiwa, misalnya, Firman Allah SWT “Qad aflaha man zakkaaha wa qad khaaba man dassaaha”. Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya. Dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya. Dengan demikian seyogyanya tiap muslim sudah seharusnya memiliki ilmu “jiwa”, bagaimana cara mensucikannya, dan apa saja yang mengotori jiwanya. Konsekuensi dari ketidaktahuan akan ilmu ini berakibat fatal dan dalam dimensi imaniyahnya, dia berdosa. Oleh karenanya ilmu “jiwa” ini tidak sebatas hanya dipelajari oleh seorang bergelar psikolog, bahkan belum tentu pula mereka yang sarjana psikologi modern memahami tentang “jiwa” (nafs), sehingga tidak sedikit terjangkit penyakit “jiwa” seperti “gila dunia”, “gila “kuasa”, “gila harta” dan sebagainya. Disinilah penyakit kedua muncul yaitu penyakit “linearisme”

12Adian Husaini, op.cit., hal 48

 

 

Penyakit “linearisme” menyebabkan seseorang berpikir, bahwa ia hanya perlu mencari ilmu dibidangnya saja. Sarjana fisika tidak merasa perlu belajar ilmu al-Quran, ilmu fikih, atau sejarah Islam. Sebab pikirinya, itu bukan bidangnya. Tak terpikir olehnya untuk mendalami ilmu-ilmu tentang aliran dan pemikiran sesat di era modern karena itu wilayah para ustadz, kiai atau guru agama.

Salah satu sifat ideal dari kurikulum Pendidikan adalah “dinamis” atau “lentur” yang senantiasa bisa mudah disesuaikan dengan kondisi artau kebutuhan factual masyarakat dan kondisi muridnya. Kurikulum Pendidikan juga tidak perlu diarahkan untuk membentuk manusia berkacamata kuda tanpa memahami tujuan hidup dan problematika masyarakatnya.

Sebagai contoh, universitas (jaami’ah) adalah suatu tempat untuk membentuk manusia sempurna (insan kulliy), bukan manusia parsial (insan juz’i). Konsep universitas itu dulunya berasal dari Islam, yang kemudian dibawa ke Eropa, dan secara berangsur- berangsur mengalami sekulerisasi bahkan proses industrialisasi. Pada era kapitalisme, universitas diarahkan untuk menjadi semacam Balai Latihan Kerja (BLK) yang diharapkan memenuhi sekrup-sekrup perindustrian secara sempit yang pada alhirnya hanya tahu bidangnya dan dilatih secara professional dibidangnya, tetapi dia buta terhadap ilmu-ilmu lain tentang kehidupan yang wajib dimilikinya.

Sesuai dengan tujuan dan makna universitas, Prof Wan Mohd Nor memaparkan konsep Pendidikan yang “integrative”. Beliau mengkritik keras konsep “spesialisasi sempit” yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuwan bidang- bidang lain. Ia menekankan perlunya menjelmakan sifat keilmuan yang multi-diciplinary dan inter-diciplinary. Spesialisasi yang membutakan terhadap bidang lain, menurut Jose Ortega Y, filosof Spanyol yang berpengaruh besar selepas Nietszche, telah melahirkan “manusia biadab baru” (a new barbarian). Tradisi keilmuwan dalam Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti ini. Ilmuwan-Ilmuwan Islam dulu dikenal luas memiliki penguasaan di berbagai bidang13.

Kritik ini tidak dipahami bahwa konsep pendidikan integratif menafikan pentingnya spesialisasi dan profesionalisme melainkan spesialisasi sempit yang mengarahkan manusia seperti “berkacamata kuda”. Konsep Pendidikan integral ini bertumpu pada penyusunan kurikulum yang berbasis pada proporsionalitas ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Jika dalam struktur pendidikan dikenal istilah Kurikuler, ko-kurikuler dan ekstra kurikuler, maka adab dan ilmu-ilmu fardhu ‘ain diletakkan sebagai kurikulum inti. Ko-kurikulernya adalah serangkaian praktek ibadah, zikir dan lainya, untuk menguatkan target kurikulernya. Sedangkan ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah dan seterusnya, ditempatkan sebagai “ekstra-kurikuler”, yang diajarkan sesuai kemampuan murid dan keperluan masyarakat. Prinsip yang harus diperhatikan dalam kurikulum Islam adalah maratibul ilmi (derajat tingkatan ilmu), disitulah konsep adab diterapkan. Masing-masing ilmu diletakkan secara tepat pada tempatnya, sesuai dengan harkatnya. Ilmu wahyu (revealed knwoleadge) yang bersifat pasti (qat’iy), tidak semestinya diletakkan di bawah ilmu empiris atau ilmu rasional yang bersifat spekulasi akal (zhanny).14

 

 

13Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu (Suatu Penjelasan), (Singapura: Pustaka Nasional Pte- Ltd, 2003)

14Adian Husaini, op.cit, hal 57

 

Simpulan

Tujuan pendidikan Islam harus diarahkan pada proses penguatan dan pengembangan individu menjadi lebih baik atau mengambil istilah al-Attas sebagai to produce a good man yang diharapkan dengan kebaikan individu itu (insan adabi) berdampak positif bagi kesuksesan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Proses pendidikan (ta’dib) ini tidak membatasi pendidikan pada skup lembaga semata namun lebih menekankan bahwa proses pendidikan bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun sepanjang hayat sebagai implementasi hadis Nabi tentang kewajiban seorang muslim dalam menuntut ilmu. Termasuk tujuan seseorang yang menuntut ilmu haruslah benar agar tidak terseret pada orientasi yang bersifat pragmatis. Sikap pragmatis itu sendiri muncul karena tujuan pendidikan yang dikembangkan dalam dunia Islam sendiri telah bergeser ke arah yang lebih banyak berorientasi pada sosio-kemasyarakatan (be a good citizen) bukan pada aspek pengembangan diri individunya (be a good man).

Terkait kurikulum, dalam pendidikan Islam tidak semua ilmu diajarkan secara sejajar, sebab dalam pendidikan Islam dikenal ada maratibul ilmi (derajat tingkatan ilmu), disitulah konsep adab diterapkan. Masing-masing ilmu diletakkan secarta tepat pada tempatnya, sesuai dengan harkatnyaa. Ilmu yang bersifat Fardhu ‘Ain harus dijadikan prioritas utama dalam proses pendidikan baru kemudian dilanjutkan dengan ilmu-ilmu yang bersifat Fardhu Kifayah, begitu pula halnya pendekatan Ilmu wahyu (revaled knwoleadge) yang bersifat pasti (qat’iy), tidak semestinya diletakkan di bawah ilmu empiris atau ilmu rasional yang bersifat spekulasi akal (zhanny). Namun demikian perlu juga lebih diperinci dalam makalah selanjutnya perihal ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan kifayah yang dalam perkembangannya juga mengalami pergeseran makna.

 

 

 

11Al-Attas mengajukan agar definisi pendidikan Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan dalam islam diganti menjadi ta’dib yang tidak sejajar dengan ta’lim dan tarbiyah, alasannya adalah struktur konsep ta’dib sudah mengandung unsur imu (‘ilm), pengajaran (ta’lim), dan penyuburan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib. Tarbiyah lebih hanya sebatas pengembangan fisik dan emosional manusia adapun ta’lim secara umum haya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif.

Dibaca 14x
Lainnya

0 Komentar

Tinggalkan Komentar